
MAKALAH
MENELAAH KEBUDAYAAN DALAM EPOS RAMAYANA DAN PENGAPLIKASIANNYA DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI
disusun
guna memenuhi tugas mata kuliah MKI
Dosen
Pengampu: Sungging Widagdo
oleh
Bangkit
Samodro Aji
2601409060
Rombel:
01
BAHASA DAN
SASTRA JAWA
FAKULTAS BAHASA
DAN SENI
UNIVERSITAS
NEGERI SEMARANG
2012
SARI
Cerita
utawa epos Ramayan kuwi kebak babagan piwulang kahuripan, kalebu kabudayan.
Akeh kabudayan kang pantes ditiru ana ing sajerone cerita mau. Kabudayan kang
kudu diuri-uri dening para muda supaya sejatine bangsa kang wis kagambar ana
epos Ramayana mau ora ilang. Kabudayan-kabudayan mau yaiku upacara sesaji,
gugur gunung utawa gotong royong, sayembara ingkang jujur, golek pangupa jiwa
sing halal, sopan santun uga ngormati marang tamu.
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang Masalah
Pada saat ini kita sering mendengar tentang
pendidikan berkarakter. Pemerintah merasa bahwa generasi penerus bangsa ini
sudah sangat mengkhawatirkan dalam bidang moral. Banyak pemuda yang tidak
berbudi pekerti dan tidak berbudaya yang baik. Mereka cenderung meniru budaya
yang berasal dari negara-negara barat yang belum tentu cocok dengan negara
kita. Dalam makalah ini, penulis akan membedah dan mengkaji budaya-budaya yang
terkandung dalam epos Ramayana. Seperti kita ketahui epos Ramayan ini dalam
kaitannya dengan filosofis orang Jawa. Diharapkan budaya-budaya yang terkandung
dalam epos Ramayana ini dapat memberikan pengaruh yang positif bagi pembacanya.
Cerita atau
lebih tepatnya kakawin Ramayana adalah syair yang berisi perjalanan Raden Rama
dan ditulis dalam bentuk tembang berbahasa Jawa Kuno. Dalam kakawin Ramayana
ini banyak terkandung kebudayaan positif yang hidup pada jaman kakawin tersebut
ditulis. Kebudayaan-kebudayaan ini lah yang coba diungkap dan dibedah oleh
penulis.
Kebudayaan adalah sistem pengetahuan yang meliputi
sistem ide gagasan yang terdapat di dalam pikiran manusia, sehingga dalam
kehidupan sehari-hari kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan
kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang
berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya
pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi social, religi seni dan
lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan
kehidupan bermasyarakat.
Menurut Koentjaraningrat kebudayaan
adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam
rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan relajar.
Sejalan dengan Koentjaraningrat, William H. Haviland menjelaskan bahwa
kebudayaan adalah seperangkat peraturan dan norma yang dimiliki bersama oleh
para anggota masyarakat, yang jika dilaksanakan oleh para anggotanya akan
melahirkan perilaku yang dipandang layak dan dapat di tarima oleh semua
masyarakat. Seperti halnya
dua pakar diatas, Ki Hajar Dewantara juga merumuskan bahwa kebudayaan berarti buah budi manusia
adalah hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat, yakni zaman dan
alam yang merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai
rintangan dan kesukaran didalam hidup dan penghidupannya guna mencapai
keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai.
Dewasa ini
seiring dengan era Globalisasi, pengaruh dari luar pun semakin terasa dalam
negri kita ini. Banyak budaya-budaya asing yang masuk tanpa adanya filteralisasi
terlebih dahulu. Budaya asing ini sedikit demi sedikit akan merusak moral
bangsa ini. Adanya ketidak sesuaian latar belakang kehidupan bangsa kita dengan
budaya yang dibawa orang luar inilah penyebab utama ketidak paduan diantara
keduanya. Negara kita yang notabene termasuk negara timur yang menjunjung
tinggi kesopanan jelas kurang cocok dengan budaya yang dibawa orang barat.
Sedikit contoh, di negara kita anak yang berusia lebih muda itu diwajibkan
untuk menghormat kepada yang lebih tua. Praktiknya, untuk memanggil orang yang
lebih tua kita harus mendahulauinya dengan kata sapaan, tidak langsung sebut
nama karena hal itu dianggap tidak sopan dan tidak pantas. Lain halnya dengan
negara barat, tua muda, orang tua dan anaknya semua sama saja. Mereka langsung
panggil nama dan tidak ada kata sapaan terlebih dahulu. Hal tersebut sekarang
kian jamak kita jumpai dalam masyarakat kita. Adanya ketidak sopanan antara
yang muda dengan yang lebih tua.
2.
Rumusan
Masalah
Dari uraian diatas, rumusan masalah yang dapat disusun
adalah.
a.
Adakah
kebudayaan pada masa Ramayana yang masih hidup pada jaman sekarang?
b.
Apa
sajakah kebudayaan pada masa Ramayana yang masih hidup pada jaman sekarang?
c.
Bagaimana
pengaplikasian kebudayaan pada masa Ramayana dengan kehidupan jaman sekarang?
3.
Tujuan
a.
Mengetahui
ada atau tidak kebudayaan pada masa Ramayana yang masih hidup pada jaman
sekarang?
b.
Mengetahui
kebudayaan pada masa Ramayana apa sajakah yang masih hidup pada jaman sekarang?
c.
Mengetahui
pengaplikasian kebudayaan pada masa Ramayana dengan kehidupan jaman sekarang?
4.
Manfaat
a.
Kita
bisa memetik teladan dari kebudayaan dalam epos Ramayana.
b.
Kita
bisa menerapkan kebudayaan yang positif dari epos Ramayana dalam kehidupan
sehari-hari.
c.
Kita
bisa lebih selektif terhadap kebudayaan-kebudayaan asing yang masuk dalam
negara kita.
BAB II
LANDASAN
TEORETIS
1.
Landasan
Teori
Menurut
Teeuw (1983: 15) dalam bukunya yang berjudul “Membaca dan Menilai Karya Sastra”,membaca dan menilai sebuah karya
sastra bukanlah sesuatu yang mudah. Setiap pembaca roman atau puisi, baik
modern atau pun klasik, pasti pernah mengalami kesulitan, merasa seakan-akan
tidak memahami apa yang dikatakan atau pun dimaksudkan oleh pengarangnya.
Proses membaca adalah memberi makna kepada sebuah teks tertentu yang dipilih
atau yang dipaksakan kepada kita yakni proses yang memerlukan pengetahuan
system kode yang cukup rumit, kompleks, dan aneka ragam. Untuk memahami sebuah
karya sastra, pembaca harus menguasai berbagai macam sistem kode, baik kode
bahasa, kode sastra,
maupun kode budaya.
d. Kode
Bahasa
Faktor
pertama yang dalam model semiotik sastra harus diberi tempat yang selayaknya
adalah bahasa, sebagai sistem tanda yang kompleks dan beragam. Bahasa merupakan
sistem pembentuk model yang primer, yang mengikat baik penulis maupun pembaca,
tidak hanya dalam arti bahwa kedua-duanya harus mengetahui bahasa yang dipakai
dalam karya sastra, tetapi juga dalam arti bahwa keistimewaan struktur bahasa
itu secara luas membatasi dan sekaligus menciptakan potensi karya sastra dalam
bahasa tersebut.
e.
Kode Sastra
Kode sastra adalah kode
yang berkenaan dengan hakikat, fungsi sastra, karakteristik sastra, kebenaran
imajinatif dalam sastra, sastra sebagai sistem semiotik,sastra sebagai dokumen
sosal budaya, dan sebagainya. Menurut Teeuw (1991: 14),sesungguhnya kode sastra
itu tidak mudah dibedakan dengan kode budaya, meskipunbegitu, pada prinsipnya
keduanya tetap harus dibedakan dalam kegiatan membaca dan memahami teks sastra.
c. Kode
Budaya
Kode budaya adalah
pemahaman terhadap latar kehidupan, konteks, dan sistem sosial budaya. Menurut
Chapman (1980: 26), kelahiran karya sastra diprakondisikan oleh kehidupan
sosial budaya pengarangnya. Karena itu, sikap dan pandangan pengarang dalam
karyanya mencerminkan kehidupan sosial budaya masyarakatnya. Sejalan dengan
itu, Rachmat Djoko Pradopo (2001: 55- 56), menyatakan bahwa karya sastra
sebagai tanda terikat pada konvensi masyarakatnya, karena merupakan cermin
realitas budaya masyarakat yang menjadi modelnya.
2.
Pembatasan
Masalah
Dari ketiga macam sistem kode yang telah dipaparkan
oleh Teeuw yaitu kode bahasa, kode sastra dan kode budaya penulis hanya akan
mengkaji tentang kode budaya . Kode Budaya apa sajakah yang ada dalam epos
Ramayana dan bagaiman pengaplikasiannya dalam kehidupan sehari-hari.
BAB III
PEMBAHASAN
Kode Budaya
Kode Budaya merupakan kebudayaan yang melatarbelakangi
suatu cerita. Kode ini berkaitan dengan berbagai sistem pengetahuan dan sistem
nilai yang tersirat di dalam teks, adapun kode budaya yang tampak dalam epos
Ramayan dapat dilihat dalam kutipan berikut ini:
1.
Upacara
Sesaji
Prabu Dasarata sudah lama mendambakan seorang putra
yang nantinya akan menjadi putra mahkota. Walaupun Sang Raja sudah memperistri
tiga wanita, namun beliau belum juga dianugrahi putra. Atas nasehat dari
Begawan Wasista, Prabu Dasarata melaksanakan sesaji Asmawedha. Praktiknya, Prabu Dasarata banyak memberikan pisungsung (penghargaan) kepada para wasu-pitri, begawan, resi, brahmana, para
tapa, dan sebagainya. Selain itu, Sang Prabu juga memberikan dana weweh (membagikan rizkinya) kepada kawula dasih di Ayodya. Pendek kata
tidak ada seorang pun yang tidak mendapatkan pemberian Sang Prabu. Dan akhirnya
Prabu Dasarata pun dianugrahi empat putra yang sama tampan rupawan dan sekti mandraguna.
Aplikasinya untuk masa sekarang adalah adanya sedekah
atau sesaji. Sedekah bumi dan sedekah laut yang dipersembahkan kepada Tuhan
Sang Pencipta. Sedekah bumi biasanya dilakukan oleh masyarakat yang mayoritas
petani. Mereka membuat semacam gunungan dari hasil panen yang kemudian diarak
keliling kampung. Pada akhirnya gunungan tersebut diperebutkan seluruh
masyarakat. Dengan harapan Tuhan akan memberikan hasil panen yang lebih baik
lagi kedepannya. Sejalan dengan diadakannya sedekah bumi, sedekah laut juga
bertujuan supaya tahun depan bisa mendapatkan hasil yang melimpah. Sedekah laut
ini biasanya dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ada juga yang menyebutnya nyadran. Bedanya dengan sedekah bumi,
selain berupa hasil panen sedekah laut terkadang menyertakan kepala kerbau atau
kambing untuk dilarung ke laut. Ada juga sesaji yang dipersembahkan kepada
makhluk halus atau sosok penunggu tempat yang dianggap kramat. Seperti pohon
besar, bangunan angker, kuburan kuno, dan sebagainya. Mereka berharap makhluk
yang dipercaya sebagai penunggu tidak mengganggu dan mengusik hidup mereka.
Dalam sesaji Asmawedha juga mengajarkan tradisi saling memberi yang diterapkan
dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai makhluk sosial dengan kehidupan yang
bermasyarakat kita tidak bisa memungkiri adanya tradisi saling memberi antar
tetangga. Sebagai contoh, apabila kita memasak lebih banyak dari biasanya
terkadang kita juga membagikan kepada tetangga kita. Bahkan ada pepatah Jawa
yang menerangkan bahwa pager piring kuwi
luwih apik tinimbang pager pring.
2.
Sayembara
Raden Rama mengikuti sayembara menthang langkap yaitu sayembara mengangkat gendewa waja yang merupakan gaman
di negara Manthiliharja. Raja Manthiliharja Prabu Janaka menjanjikan hadiah
dapat memboyong Dewi Sinta sebagai istri kepada sang pemenang sayembara.
Singkat cerita Raden Rama Wijaya berhasil memenangkan sayembara dan memboyong
Dewi Sinta ke Ayodya.
Aplikasi untuk kehidupan jaman sekarang adalah adanya
perlombaan atau kompetisi. Seperti halnya sayembara, perlombaan juga
memperebutkan hadiah. Kalau sayembara hadiahnya berupa perempuan kalau
perlombaan hadiahnya lebih kepada trophi dan uang.
3.
Tradisi
Berburu
Raden Rama dan Raden Laksmana berburu di dalam hutan
Dhandaka untuk menangkap seekor kidang emas yang merupakan jelmaan dari Kala
Marica.
Kalau jaman dahulu berburu dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan hidup, yaitu makan. Maka pada jaman sekarang berburu lebih untuk
menyalurkan hobi.
4.
Gotong
Royong
Para wadya
wanara sama bergotong royong tanpa mengeluh untuk membangun tambak/jembatan menuju negri Ngalengkadiraja.
Walaupun tugas yang mereka kerjakan sangatlah berat, tapi mereka mengerjakan
semua itu dengan ikhlas. Mereka sama gugur
gunung tanpa pamprih demi kepentingan bersama.
Aplikasi dalam kehidupan sekarang, gotong royong
biasanya dilakukan oleh masyarakat desa atau dalam lingkup RT. Biasanya gotong
royong dilaksanakan pada hari Minggu atau hari libur. Pada masyarakat desa
tradisi gugur gunung ini sangat
kental terasa karena jiwa sosial mereka masih sangat kuat di banding dengan
masyarakat yang hidup di perkotaan. Sebagai contoh, apabila seorang warga desa
akan membangun rumah, maka tanpa dimintapun warga yang lain akan turut
membantunya. Walaupun mereka tidak diberi upah, mereka sudah merasa senang
karena bisa membantu orang lain.
5.
Menjamu
Tamu
Prabu Dasamuka mempersilahkan Raden Kumbakarna dan
menjamunya dengan makanan kesukaannya. Prabu Dasamuka tahu kalau Raden
Kumbakarna pasti kelaparan setelah tapa
sare sekian lama. Semua makanan enak dihidangkan, tidak ketinggalan
berpeti-peti minuman juga disuguhkan Sang Prabu kepada Kumbakarna. Selain itu,
Prabu Dasamuka juga menyambut hangat kedatangan Anggada yang merupakan
keponakannya dengan menjamun minuman-minuman yang memabukkan.
Sudah menjadi kewajiban dijaman sekarang ini untuk
menjamu tamu yang datang kerumah kita. Sebagai wujud penghormatan kita kepada
tamu. Bahkan ada istilah tamu adalah raja.
6.
Penggunaan
Senjata
Raden Rama tidak pernah meleset dalam melepaskan Kiai Guwawijaya, semua yang telah
dibidik Raden Rama pasti tidak bisa luput. Lain halnya dengan kidang emas ini
yang terlihat jinak namun sangat gesit dan lihai dalam menghindari anak panah
Raden Rama.
Aplikasinya di jaman sekarang ini, panah dijadikan
sebagai cabang olah raga yang diperlombakan. Kalau dahulu senjata berupa panah,
keris, pedang, tombak, dll. Sekarang dengan perkembangan jaman senjata lebih
beragam, seperti pistol, senapan laras panjang, granat, rudal, dll. Bahkan
sekarang ini yang sedang menjadi perdebatan dunia internasional adalah
penggunaan senjata nuklir. Begitu hebatnya efek yang ditimbulkan oleh senjata
nuklir ini menyebabkan banyak negara yang mengecam penggunaan senjata jenis
ini.
7.
Pengembaraan
Raden Rama, Raden Laksmana dan Dewi Sinta mengembara
kedalam hutan Dhandaka selama 12 tahun. Semua itu dilakukan sebagai buntut dari
keinginan Dewi Kekayi yang khawatir Raden Rama akan mengusik Raden Bharata.
Aplikasi pada kehidupan sekarang mungkin biasa kita
sebut merantau. Merantau banyak dilakukan oleh masyarakat Sumatra. Sudah
menjadi tradisi dari dahulu bahwa seorang laki-laki Sumatra yang sudah dewasa
wajib untuk pergi merantau demi masa depannya. Namun, sekarang tradisi merantau
ini sudah bukan milik masyarakat Sumatra saja. Banyak juga orang Jawa yang
berasal dari desa merantau kekota yang mereka anggap dapat memberikan masa depan.
Merantau biasanya dilakukan oleh orang desa yang pergi kekota untuk mencari
pekerjaan atau untuk menuntut ilmu.
8.
Penentuan
Raja
Sebenarnya putra Prabu Dasarata yang paling pantas
untuk meneruskan kerajaan Ayodya adalah Raden Rama Wijaya. Selain sebagai putra
tertua dan terhebat, beliau juga merupakan putra mahkota yang lahir dari
permaisuri Dewi Ragu.
Sampai sekarang kriteria tentang putra mahkota yang
akan ditetapkan menjadi raja masih sama dengan jaman dahulu yaitu putra mahkota
tertua. Terutama untuk negara yang menganut sistem pemerintahan monarchi.
BAB VI
PENUTUP
1.
Simpulan
Dari uraian diatas dapat kita teladani bahwa banyak
kebudayaan pada masa Ramayana yang dapat diaplikasikan pada kehidupan sekarang
ini. Diantaranya adalah upacara sesaji Prabu Dasarata yang kemudian
bertransformasi menjadi sedekah laut dan sedekah bumi pada jaman sekarang.
Sayembara untuk memperebutkan wanita sekarang menjadi perlombaan dengan hadiah
harta benda. Tradisi berburu yang tadinya untuk memenuhi kebutuhan hidup yaitu
makan, sekarang cenderung sebagai hobi dan olah raga saja. Gotong royong,
menjamu tamu dan penggunaan senjata yang masih berkembang sampai sekarang.
Serta tradisi pengembaraan yang dilakukan Rama sekarang ini pengembaraan atau
lebih sering disebut merantau banyak dilakukan oleh masyarakat desa. Namun
dengan tujuan yang berbeda yaitu untuk menemukan penghidupan yang layak.
2.
Saran
Sebagai generus bangsa, hendaknya kita bisa
memetik teladan dari kebudayaan yang hidup dalam epos Ramayana. Kita supaya
bisa menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Serta jangan serta merta meniru
kebudayaan-kebudayaan yang kurang sesuai dengan masyarakat kita. Kita harus
menyaring mana yang baik dan mana yang kurang baik untuk kita dan semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar