
MAKALAH
MENELAAH
EPOS RAMAYANA
BERDASARKAN SEMIOTIK
MENURUT A. TEEUW
disusun
guna memenuhi tugas mata kuliah Sastra Bandingan
Dosen
Pengampu: Sukadaryanto, M.Hum.
oleh
Bangkit
Samodro Aji
2601409060
Rombel:
03
BAHASA DAN
SASTRA JAWA
FAKULTAS BAHASA
DAN SENI
UNIVERSITAS
NEGERI SEMARANG
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Sastra (Sansekerta शास्त्र,
shastra) merupakan kata serapan dari bahasa Sansekerta śāstra, yang berarti
“teks yang mengandung instruksi” atau “pedoman”, dari kata dasar śās- yang
berarti “instruksi” atau “ajaran”. Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa
digunakan untuk merujuk kepada “kesusastraan” atau sebuah jenis tulisan yang
memiliki arti atau keindahan tertentu. Tetapi kata “sastra” bisa pula merujuk
kepada semua jenis tulisan, apakah ini indah atau tidak.Selain itu dalam arti
kesusastraan, sastra bisa dibagi menjadi sastra tertulis atau sastra lisan
(sastra oral).
Sastra tertulis adalah sebuah karya seseorang atau bisa disebut empu
berupa tulisan yang memuat ajaran-ajaran atau pedoman atau gambaran kehidupan
manusia sebagai suatu kenyataan sosial. Ada banyak macam sastra tulis,
diantaranya adalah kakawin. Kakawin adalah karya satra Jawa Kuno yang berbentuk
prosa. Misalnya kakawin Ramayana yang menceritakan perjalanan Rama dan Sinta.
Kakawin atau cerita Ramayana merupakan
sebuah karya sastra tulis yang sangat
termasyur dalam dunia kesusastraan. Cerita Ramayana ini berisi tentang cerita
kepahlawanan yang berasal dari India. Selain itu, dalam cerita tersebut juga
berisi tentang ajaran-ajaran agama Budha. Cerita Ramayana ini awalnya ditulis
dalam bahasa Sansekerta yang diakui sebagai karya pujangga India kuno yang
bernama Bhattikawya. Adalah seorang peneliti India yang bernama Manomohon Ghosh
yang telah menyimpulkan hal tersebut. Manomohon Ghosh telah menemukan beberapa
bait kisah Ramayana dalam kitab Ranawanadha. Ranawanadha adalah kitab yang
menjadi rujukan penulisan kisah Rama dan Sinta didalam cerita Ramayana versi
Walmiki.
Dilain pihak, cerita Ramayan diduga
ditulis oleh pujangga Yogiswara pada masa pemerintahan Dyah Balitung di
kerajaan Mataram Kuno yang terjadi pada 820-832 tahun Saka atau 870 M. Bahkan sampai sekarang masih menjadi
perdebatan yang menarik tentang siapa pengarang cerita Ramayana yang sebenarnya.
Cerita Ramayana ini dalam ajaran Budha disebut dengan kakawin.
Sampai sekarang cerita Ramayana banyak
yang diubah dalam versi modern sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Seperti
halnya cerita Ramayana karya Wawan Susetya ini yang bahasanya sudah diubah
sehingga mudah dipahami oleh masyarakat umum.
Cerita ini dimulai dari kisah sang Prabu Dasaratha yang mempunyai empat
orang anak yang semuanya laki-laki. Keempat anaknya itu diberi nama Rama,
Bharata, Laksmana, dan Satrughna. Seorang resi atau bagawan yang bernama Wiswamitra
mengajukan permohonan bantuan kepada sang Prabu Dasaratha.
Resi Wiswamitra merasa ketakutan dan tidak mampu menghadapi gangguan para
raksasa yang sudah mengusik daerah pertapannya. Maka Prabu Dasaratha pun
mengirimkan bantuan dengan mengutus Rama dan Laksmana untuk membasmi para
raksasa tersebut. Sesuai dengan amanat ayahnya, Rama dan Laksmana berhasil
menghabisi para raksasa pengganggu area pertapaan itu. Setelah itu Rama dan
Laksmana pergi ke negeri Manthili untuk mengikuti sayembara memanah yang
berhadiah seorang putri raja bernama Sinta. Singkat cerita, Rama pun keluar
sebagai pemenang dan memboyong Sinta pulang ke Ayodya.
Alkisah
karena ada solidaritas dendam para raksasayang telah dibunuh oleh Rama, maka di
kemudian hari kehidupan Rama dan Sinta diganggu oleh para Raksasa Rahwana. Di
dalam cerita Rama, Sinta dan Laksmana juga pernah meninggalkan kerajaan
dikarenakan untuk memberi kesempatan
kepada Bharata (adik lain ibu) untuk menjadi raja.
Kisah
selanjutnya adalah cerita tentang tuntutan Kekayi (ibu tiri Rama) agar Raja
Dasarata (ayah Rama) mengangkat puteranya Bharata sebagai raja Ayodya dan
menuntut agar Rama dan Sita diusir ke tengah hutan Dhandaka selama 12 tahun.
Didalam hutan Dhandaka Rama, Laksamana, dan Sita banyak bertemu dengan para
pertapa.
Suatu
ketika, Sita melihat kijang kencana dan meminta Rama menangkapnya. Ternyata
kijang tersebut adalah kijang jadi-jadian Kala Marica, patih dari Rahwana.
Ketika Rama berusaha mengejar kijang tersebut, Sita diculik oleh Rahwana dan
diterbangkan ke negeri Alengka. Dalam perjalanan, Sita ditolong oleh Jatayu.
Tetapi Jatayu dapat dikalahkan oleh Rahwana dengan sabetan pedhang Mentawa-nya. Dalam keadaan terluka
Jatayu berhasil menemui Rama. Demi mengetahui bahwa Sita diculik, maka Rama
berangkat menuju Alengka. Kisah berikutnya adalah cerita tentang perjalanan
Rama di hutan Dhandaka. Disana dia menolong Sugriwa (raja monyet) mengalahkan
Subali. Atas jasanya tersebut, Sugriwa dan Hanuman menyatakan keinginannya
untuk membantu Rama mencari Sita. Kemudian Hanuman berangkat ke Alengka sebagai
duta dari Rama.
Bagian
terakhir dari kisah ramayana adalah cerita ketika rombongan Rama dan tentara
monyet membangun jembatan menuju negeri Alengka. Selanjutnya, Rahwana dan
bala-tentaranya dapat dikalahkan. Rama berhasil membawa kembali Sita ke Ayodya
dengan selamat.
Karya satra ini dapat dikaji menurut teori Semiotik
dari A.Teeuw. Untuk
memahami sebuah karya sastra, pembaca harus menguasai berbagai macam sistem
kode, baik kode bahasa, kode sastra, maupun kode budaya. Disini A.Teeuw membagi semiotik menjadi tiga aspek,
yaitu.
·
Kode Bahasa
·
Kade Sastra
·
Kode Budaya
B. RUMUSAN
MASALAH
Dari
uraian di atas, rumusan masalah yang dapat disusun adalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah
kode bahasa dalam cerita Ramayana karya Wawan Susetya?
2. Bagaiamanakah
kode sastra dalam cerita Ramayana karya Wawan Susetya?
3. Bagaimanakah
kode budaya dalam cerita Ramayana karya Wawan Susetya?
C. TUJUAN
PENELITIAN
Tujuan
dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Mengungkapkan
kode bahasa dalam cerita Ramayana karya Wawan Susetya.
2. Mengungkapkan
kode sastra dalam cerita Ramayana karya Wawan Susetya.
3. Mengungkapkan
kode budaya dalam cerita Ramayana karya Wawan Susetya.
D. MANFAAT
PENELITIAN
Manfaat
penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Dapat
memberikan pemahaman mengenai penerapan teori Semiotik menurut A.Teeuw dalam
komparasi cerita Ramayana.
2. Memperkaya
pengetahuan mengenai sastra lisan Ramayana.
3. Memberikan
teladan-teladan kehidupan.
BAB II
LANDASAN TEORI
Menurut A.Teeuw (1983: 15) dalam bukunya yang berjudul “Membaca dan Menilai Karya Sastra”,membaca
dan menilai sebuah karya sastra bukanlah sesuatu yang mudah. Setiap pembaca
roman atau puisi, baik modern atau pun klasik, pasti pernah mengalami
kesulitan, merasa seakan-akan tidak memahami apa yang dikatakan atau pun
dimaksudkan oleh pengarangnya. Proses membaca adalah memberi makna kepada
sebuah teks tertentu yang dipilih atau yang dipaksakan kepada kita yakni proses
yang memerlukan pengetahuan system kode yang cukup rumit, kompleks, dan aneka
ragam. Untuk memahami sebuah karya sastra, pembaca harus menguasai berbagai
macam sistem kode, baik kode bahasa, kode budaya, maupun kode sastra.
1. Kode Bahasa
Faktor
pertama yang dalam model semiotik sastra harus diberi tempat yang selayaknya
adalah bahasa, sebagai sistem tanda yang kompleks dan beragam. Bahasa merupakan
sistem pembentuk model yang primer, yang mengikat baik penulis maupun pembaca,
tidak hanya dalam arti bahwa kedua-duanya harus mengetahui bahasa yang dipakai
dalam karya sastra, tetapi juga dalam arti bahwa keistimewaan struktur bahasa
itu secara luas membatasi dan sekaligus menciptakan potensi karya sastra dalam
bahasa tersebut.
2.
Kode Sastra
Kode sastra adalah kode
yang berkenaan dengan hakikat, fungsi sastra, karakteristik sastra, kebenaran
imajinatif dalam sastra, sastra sebagai sistem semiotik,sastra sebagai dokumen
sosal budaya, dan sebagainya. Menurut Teeuw (1991: 14),sesungguhnya kode sastra
itu tidak mudah dibedakan dengan kode budaya, meskipunbegitu, pada prinsipnya
keduanya tetap harus dibedakan dalam kegiatan membaca dan memahami teks sastra.
3. Kode Budaya
Kode budaya adalah
pemahaman terhadap latar kehidupan, konteks, dan sistem sosial budaya. Menurut
Chapman (1980: 26), kelahiran karya sastra diprakondisikan oleh kehidupan
sosial budaya pengarangnya. Karena itu, sikap dan pandangan pengarang dalam
karyanya mencerminkan kehidupan sosial budaya masyarakatnya. Sejalan dengan
itu, Rachmat Djoko Pradopo (2001: 55- 56), menyatakan bahwa karya sastra
sebagai tanda terikat pada konvensi masyarakatnya, karena merupakan cermin
realitas budaya masyarakat yang menjadi modelnya.
Untuk
memahami kode budaya dalam kisah Ramayana ini maka kita mengembalikan karya
sastra ini dan memandang karya ini sebagai perwujudan nilai-nilai dan
peristiwa-peristiwa penting pada jamannya, seperti kehidupan kebudayaan, alam
pikiran, susunan tata pemerintahan, kebiasaan adat-istiadat, keadaan
kemasyarakatan, dan kegiatan kultural lainnya yang hanya dapat dipahami dalam
suatu totalitas kehidupan masyarakat yang telah melahirkannya.
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam menganalisis teks
Ramayana karya Wawan Susetya adalah metode tekstual. Metode atau prosedur
langkah kerjanya yang pertama adalah peneliti harus memiliki pemahaman tentang
karya sastra secara menyeluruh. Tentang wawasan karya sastra yang akan
diteliti, memiliki pandangan yang tajam terhadap meneliti karya tersebut, dan
harus memiliki sensitifitas tinggi, yang merupakan senjata paling ampuh utama
dalam memedah suatu karya dengan menggunakan metode semiotik ini.
Kedua adalah analisis yang lebih rinci dan mendalam
menyangkut tehnik, style, stalistika,
serta kekuatan-kekuatan atau keistimewaan lain yang menyebabkan karya itu
memiliki sistem sendiri.
Ketiga mengaitkan hal-hal yang berada dalam tubuh struktur
karya tersebut dengan system yang berada diluar tubuh struktur tersebut, dan
sistem yang berada diluarnnya (mengaitkan aspek interistik dan ekterinsik).
Asumsi tentang teori semiotik ini
adalah merupakan sebuah teori yang relevan pembedahannya untuk menganalisis
sebuah karya dalam bahasa kedua pada dunia sastra. Dimana disana terdapat
bahasa simbolik yang pemaknaannya hanya bisa di pahami dan dibedah oleh teori
ini, bukan hanya itu semiotic merupakan bahasa yang mencerminkan bahasa sastra
yang estetis, sistematis, dan memiliki pluralitas makna ketika dibaca oleh
pembaca dalam memberi pemahaman terhadap teks karya sastra.
Pendekatan, metode dan teori
semiotik mempunyai kekuatan dan kelebihan utama dalam membedah karya sastra
secara mendalam karena lebih menyempurnakan teori-teori lain seperti
structural, stilistika, sosiologi dll. Terus analisisnya lebih spesifik dan
komprehensif. Memberikan pemahaman makna dan simbolik baru dalam membaca karya
sastra. Kita pembaca akan mengetahui minimal dua makna yaitu makna bahasa
secara literleg dan makna kedua yakni makna simbolik yang memiliki global,
(pluralitas makna) yang mungkin akan tejadi perbedaan asumsi ketika membaca
symbol antara pengarang dan pembaca dalam suatu karya tergantung dari
prespektif mana ia menilai.
Kekurangannya ialah pendekatan ini
memerlukan banyak dukungan ilmu bantu yang lain seperti linguistic, sosiologi,
psikologi dll, terus yang paling penting diperlukan kematangan konseptual
tentang sastra, wawasan luas dan teorinya. Peranan peneliti sangat penting, ia
harus jeli, teliti dan menguasai materi yang akan diteliti secara totalitas
karena kalau itu tidak terpenuhi, makna yang ada dalam teks akan kurang
tereksplor diketahui oleh pembaca, malahan cenderung menggunakan
subjektifitasnya yang menapikan itu semua dan itu sangat riskan sekali untuk
meneliti dengan teori ini.
BAB
IV
ISI
PEMBAHASAN
A.
Kode
Bahasa
1.
Bahasa
yang digunakan
Dalam bukunya Wawan Susetya, cerita Ramayana ini ditulis dengan bahasa
Indonesia yang sangat mudah untuk dipahami. Penulis tidak hanya mengalih
bahasakan dari bahasa Jawa Kuna atau bahasa India ke bahasa Indonesia. Namun,
penulis menceritakan kembali cerita Ramayana ini menggunakan bahasanya sendiri
yang mudah dipahami bahkan untuk orang awam sekalipun.
2.
Diksi
Dalam buku ini, masih banyak dijumpai cuplikan-cuplikan kata dan kalimat
yang menggunakan bahasa Jawa. Dan untuk membantu pembaca, penulis memberikan
arti kata tersebut dalam kurung.
Contoh:
-
Negara
Ayodya dikenal sebagai negara yang tata
tentrem karta raharja (aman tentram lagi makmur), jembar jajahane (luas daerah kekuasaannya), dan adoh prabawane (besar pengaruhnya.
-
Para
mantri bupati (para pejabat kraton) saiyeg kapti (bersama-sama) mungkul (tunduk patuh) dalam mikul ayahe dhewe-dhewe (menjalankan
tugasnya masing-masing).
-
Raden
Rama yang sedang menjalankan tugas kehidupannya; memayu hayuning bawana (menjaga,melestarikan dan memakmukan bumi)
dengan lara-lapa (tirakat) di hutan
Dhandaka selama 12 tahun.
Ada juga ungkapan sendhon (suluk;pewayangan) yang
menggambarkan bawa leksananya Prabu
Dasarata;
“O...deneutamaning nata, berbudi bawa leksana, O...lire berbudi mngkana,
O...lila legawa ing ndriya, O...hanggung dennya paring dana, hanggeganjar saben
dina, lire kang bawa lesana, O...hanetepi pangandhika, O....O...”
Selain itu, penulis juga
menyelipkan kata atau kalimat penjelas untuk istilah ataupun pernyataan yang
dianggap perlu pada kalimat di depannya.
Contoh:
-
Begitu
pula dengan sambutan istri-istri Prabu Dasarata-Dewi Ragu, Dewi Sumitra, dan
Dewi Kekayi-dan para saudara Raden Rama.
-
Padahal,
Prabu Dasarata sangat nggadhang-gadhang kepada Raden Rama-putra Dewi Ragu;sang
permaisuri-yang diharapkan kelak menggantikan posisinya senagai Raja Ayodya.
-
Kedatangan
Raden Anoman-putra Dewi Anjani-beserta wanara
lainnya juga menambah kekuatan wadya
bala Gua Kiskendha.
3.
Pola
kalimat
Dalam cerita Ramayana karya Wawan Susetya ini banyak
menggunakan kalimat panjang dan kalimat
majemuk.
Contoh:
-
Berkat ketulusan Sang Prabu dalam
menjalankan sesaji Asmawedha serta
keikhlasan dalam menbagi-bagikan mas
picis raja brana serta bandha-bandhu
(harta)-nya kepada kaum papa, maka Hyang
Widhi pun mengabulkan keinginan Prabu Dasarata.
Kalimat diatas menggunakan kalimat majemuk, dimana terdapat induk
kalimat dan anak kalimat yang dipisahkan menggunakan konjungsi “maka”.
-
Dukungan para wadya bala wanara dari Gua Kiskendha yang ditindhihi (dipimpin) Narpati Sugriwa kepada Raden Rama Wijaya
untuk merebut kembali istrinya Dewi Sinta dari tangan Prabu Dasamuka-Raja
Ngalengkadiraja-makin hari semakin kuat.
Kalimat diatas berpola S-P-O-K.
-
Setelah itu, Raden Anoman mohon diri dan
meneruskan perjalanan dengan ngambah
gegana di atas taman Soka seraya mengawasi kekuatan musuh di Ngalengka.
Kalimat diatas merupakan kalimat majemuk yang apabila dipisah kan akan
menjadi beberapa kalimat yang dapat berdiri sendiri:
·
Raden
Anoman mohon diri.
·
Raden
Anoman meneruskan perjalanan dengan ngambah gegana di atas taman Soka.
·
Raden
Anoman mengawasi kekuatan musuh di Ngalengka.
4.
Permajasan
Majas perbandingan merupakan
majas yang digunakan untuk mengungkapkan sesuatu dengan membandingkannya dengan
sesuatu yang lain. Ada beberapa macam majas yang termasuk dalam jenis majas
perbandingan, yaitu personifikasi, hiperbola, asosiasi, litotes, metafora,
metonimia, eufemisme, dan sinekdokhe. Adapun pengertian dan contoh dari beberapa
macam majas tersebut yaitu:
a.
Majas Personifikasi
Contoh :
-
Tiba-tiba
Anoman melihat gunung yang sangat menarik hatinya.
-
Tak tahunya, Dewi Sinta pun melempar senyum kepada
calon suaminya.
-
Kedua mata itupun saling bertemu, saling menyapa dan
saling mengikat janji.
b.
Majas Hiperbola
Contoh :
-
Tepuk tangan pun membahana serta sorak-sorai pun
menggemuruh di alun-alun Manthilidirja seolah-olah memenuhi ruang angkasa.
-
Raden Rama dan Dewi Sinta disambut oleh kawula dasih Ayodya bak pahlawan yang baru memenangkan
pertempuran.
-
Prabu Dasarata hanya bisa mengucurkan air matanya saja
ketika mendengar nasehat permaisuri Dewi Ragu dan putranya Raden Rama.
c.
Majas Asosiasi
Contoh :
-
Hati
Dewi Sinta berbunga-bunga atas kedatangan utusan suaminya.
-
Coba
lihatlah kedua wajah Prabu Trikala dan
Raden Kalasekti ini kan benar-benar mirip dengan wajah Raden Rama dan Raden
Laksmana bagaikan pinang dibelah dua.
-
Wajah-wajah mereka seperti benang kusut karena
ditinggal Raden Rama Wijaya.
d.
Majas Metafora
Contoh :
-
Setelah tujuh hari lamanya Ayodya dalam keadaan
bahagia, kini giliran mendung hitam menyelimuti Istana Ayodya.
e.
Majas Litotes
Contoh :
-
Prabu Dasarata berkata kepeda Dewi Rhagu sembari
meneteskan air matanya, “betapa bodoh dan dungunya saya ini. Jika dulu saya
tidak berjanji kepada Dewi Kekayi, pasti Raden Ramalah yang akan menjadi Raja
bhinatara di Ayodya.”
f.
Majas Metonimia
Contoh :
-
Raden Laksmana segera mengeluarkan Kiai Naracabala dan yang diarahkan
kepada kedua raksasa musuhnya.
-
Meskipun Prabu Rahwana terkena Kiai Guwawijaya-nya Raden Rama
, dan membuat kepala Prabu Rahwana terpisah dari raganya, itu tidak
membuatnya mati.
-
Dengan Pancasona
pemberian Subali, Prabu Dasamuka
tidak bisa mati semudah itu.
g.
Majas Eufemisme
Contoh :
-
Sejak
ditinggal putra kesayangannya, Prabu Dasamuka agak
kurang waras.
-
Raden Jaya Anggada memang dipandang kurang mumpuni dibanding Raden
Anoman, sehingga Raden Rama memilih Raden Anoman sebagai dutanya.
h.
Majas Sinekdokhe
Contoh :
-
Sudah
lama saya tak melihat batang hidungnya.
Majas pertentangan yaitu majas
yang mengungkapkan sesuatu maksud tetapi dengan pernyataan yang bertentangan.
Majas yang termasuk dalam jenis majas pertentangan yaitu majas paradox, majas
antithesis, dan majas kontradiksi interminis.
a.
Majas Paradoks
Contoh :
-
Di tempat ramai seperti
Ngalengkadiraja ini,
hati Dewi Sinta
terasa sepi tanpa hadirnya Raden Rama.
-
Kaki yang selembut bunga, berjalan melintas
jalanan hutan yang keras.
-
Dengan kekuatan yang sangat sekti mandraguna, Raden Rama malah merasa bukan apa-apa.
b.
Majas Antithesis
Contoh :
-
Semua rakyat Ayodya baik tua-muda, besar-kecil merasa
kurang senang dengan penobatan Raden Bharata sebagai Raja Ayodya selanjutnya.
c.
Majas Kontradiksi
Contoh :
-
Semua istri Prabu Dasarata merasa senang dengan
kehadiran Raden Rama yang telah berhasil memboyong Dewi Sinta, kecuali Dewi
Kekayi.
yaitu majas atau gaya bahasa yang
digunakan untuk menyindir seseorang atau sesuatu. Ada beberapa majas yang
termasuk dalam jenis majas sindiran, misalnya majas ironi, majas sinisme, dan
majas sarkasme.
a.
Majas Ironi
Contoh :
-
“Bagus
benar kerja kalian, menyingkirkan kethek
putih seperti itu saja tidak becus!”, bentak Prabu Dasamuka.
b.
Majas Sinisme
Contoh :
-
Anoman,
Anggada! Perbuatan kalian sungguh memalukan, seperti
anak kecil saja!
c.
Majas Sarkasme
Contoh :
-
Kamu tidak usah ikut campur urusan orang lain Jatayu,
dasar keparat!
Majas penegasan yaitu majas atau
pernyataan yang digunakan untuk mempertegas pernyataan yang dinyatakan. Ada
beberapa majas jenis ini, misalnya majas klimaks, antiklimaks, pleonasme, dan
repetisi.
a.
Majas Klimaks
Contoh:
-
“Jangankan
cuma Raden Rama, seribu Raden Rama pun saya tidak takut menghadapinya.” Kata
Prabu Dasamuka congkak.
b.
Majas Pleonasme
Contoh :
-
Sebagai pasukan Raden Rama, kita harus dan wajib patuh
terhadap dhawuh Raden Rama.
c.
Majas Repetisi
Contoh :
-
Dandang diunekne kuntul, kuntul diunekne dandang.
B.
Kode Sastra
Dalam
Kode Sastra ini berisi tentang estetika sastra dan unsur intrinsik cerita.
1. Estetika
Satra
Contoh yang ada dalam buku karya Wawan
Susetya:
-
ungkapan
sendhon (suluk;pewayangan) yang
menggambarkan bawa leksananya Prabu
Dasarata,
“O...deneutamaning nata, berbudi bawa leksana, O...lire berbudi mngkana,
O...lila legawa ing ndriya, O...hanggung dennya paring dana, hanggeganjar saben
dina, lire kang bawa lesana, O...hanetepi pangandhika, O....O...”
-
Setelah tujuh hari lamanya Ayodya dalam keadaan
bahagia, kini giliran mendung hitam menyelimuti Istana Ayodya. (majas Metafora)
-
Tak tahunya, Dewi Sinta pun melempar senyum kepada
calon suaminya,
sehingga kedua mata itupun saling bertemu, saling menyapa dan
saling mengikat janji.
(majas Persnifkasi)
-
Kata-katanya pun seperti hilang tertelan bumi.
Dalam keadaan seperti itu, Prabu Dasarata hanya bisa meneteskan air matanya.
-
Dari hati yang seputih mega-mega di angkasa
musim panas.
-
Kaki yang selembut bunga, berjalan melintas
jalanan hutan yang keras.
-
“Apakah dua pundak ini sekedar hiasan? Apakah
busur panah dan pedang yang menggantung hanya untuk gagah-gagahan ? atau kau
pikir hanya perlengkapan panggung untuk pantas-pantas saja?”
2.
Unsur
intrinsik
a.
Alur
Penulis menceritakan epos Ramayana yang sangat
panjang, Namun penulis menceritakanya kedalam beberapa bagian yaitu ada enam
belas bagian, menjadikan pembaca tidak bosan, dan terkesan ada episode-episode
cerita atau pembabakan cerita. Bagian satu sampai enam belas mempunyai alur
yang sama, dan saling berkaitan. Dapat dikatakan alur yang digunakan penulis
adalah alur maju. Dengan adanya pembabagan itu, pembaca juga akan mudah
bagian-bagian mana yang akan dicari. Dan melalui pembagian-pembagian tersebut, juga
dapat dijadikan lakon cerita dalam pementasan wayang.
Alur
tersebut meliputi:
·
Pemunculan masalah
Yaitu terdapat pada bagian cerita keempat.
Saat Prabu Rahwana menculik Dewi Sinta di hutan Dhandaka. Berawal dari
keinginan Prabu Rahwana untuk menkahi Dewi Sinta yang notabene titisan Dewi
Widawati, dia menghalalkan segala cara untuk memboyong dewi Sinta. Padahal Dewi
Sinta sudah mempunyai suami yaitu Raden Rama Wijaya.
·
Klimaks atau pucak konflik
Yaitu terdapat pada bagian cerita keempat
belas. Pada bagian ini terdapat perang dahsyat antara Prabu Dasamuka dan Raden
Rama Wijaya. Saat Prabu Dasamuka sudah tidak mempunyai patih yang sakti mandraguna lagi, akhirnya dia turun
tangan sendiri untuk menghadapi wadya
wanara dan Raden Rama. Singkat cerita Prabu Dasamuka akhirnya tewas setelah
kepalanya dipanah dengan panah Kiai Guwawijaya dan tubuhnya ditindih gunung.
·
Penyelesaian masalah
Yaitu terdapat pada bagian cerita yang
terakhir. Pada bagian cerita ini berisi tentang Raden Rama Wijaya dan wadya wanara-nya yang berhasil merebut
Dewi Sinta dan Ngalengkadiraja. Setelah peperangan selesai tahta Ngalengka
dipasrahkan kepada Prabu Wibisana, dan Raden Rama beserta Sinta kembali ke
negara Pancawati.
b.
Tema
Tema
pada cerita Ramayana adalah percintaan. Mengisahkan perjalanan cinta Raden Rama
sebagai titising Bhatara Wisnu dan
Dewi Sinta sebagai titising Dewi Widawati
yang penuh cobaan dan ujian kehidupan. Namun semua itu tidak bisa memisahkan
ketulusan cinta mereka.
c. Tokoh
dan Penokohan
µ Tokoh
Utama Protagonis:
-
Raden Ramayana atau Ramabadra atau Ramacandra
atau Ramaregawa atau Ramawijaya: tampan rupawan, wajahnya sumunar seperti wulan
purnamasidhi, wibawa, sangat sekti
mandraguna, ahli dalam semua ilmu simbolisasi dari kebijaksanaan.
-
Sinta sebagai titising Dewi Widawati: sulistya ing warna (cantik jelita),
kulitnya halus, mulus, hatinya lemah lembut, setia, pemberani, simbol kesetiaan
dan kesucian.
µ Tokoh
Utama Antagonis:
-
Prabu Dasamuka: raksasa dengan sepuluh kepala,
berwajah buruk rupa, kekar, menakutkan, jahat, mengumbar hawa nafsu, perlambang
keangkara murkaan.
µ Tokoh
pendukung:
-
Raja Dasarata: tampan rupawan, gagah berani, sekti mandraguna jaya ing palagan (memiliki
kesaktian hingga tak pernah kalah dari medan perang), mulia, suka bederma
kepada semua rakyat Ayodya dengan mempersembahkan Sesaji Asmawedha.
-
Dewi Ragu: cantik, wanita setengah baya yang sudah lama
mengidamkan seorang anak, tegar, ikhlas, sabar, baik hati, tidak egois, lemah
lembut dan bijaksana
-
Dewi
Sumitra: selir yang cantik, baik hati, tidak egois dan lemah lembut.
-
Dewi
Kekayi: selir yang cantik, egois, tidak peduli dengan orang lain.
-
Raden
Laksmana: tampan rupawan, sebagai titising
Bathara Suman, sekti mandraguna, baik hati, setia, bijaksana dan baik budi
pekertinya.
-
Raden
Bharata: tampan rupawan, sebagai titising
Bathara Dharma, adil dan bijaksana.
-
Raden
Strugna: tampan rupawan, selalu jinangkung
ing Bharata, menegakkan kebenaran, memerangi kejahatan dan becik martabatnya.
-
Garudha Jatayu: burung yang tanggung, gagah berani, sahabat yang
baik.
-
Narpati
Sugriwa: seekor kera jelmaan Gwarsi, baik hati, selalu waspada, setia,
bijaksana, dan tangguh dalam berperang.
-
Subali:
saudara Sugriwa berupa kera jelmaan Gwarsa, ksatria yang awalnya baik dengan
bukti darah putihnya, setelah kenal dengan Dasamuka menjadi jahat.
-
Raden
Anoman: seekor kera putih putra Dewi Anjani, bisa terbang dan merubah dirinya
menjadi raksasa, kesaktian yang tak terbantahkan.
-
Raden
Jaya Anggada: seekor kera putra Subali, tangguh, kuat, iri hati, mudah
terhasut, mudah marah.
-
Raden
Anila: seekor wanara/kera berwarna
biru, gagah berani, sekti mandraguna,
setia, baik hati.
-
Raden
Wibhisana: Adik Dasamuka, raksasa yang baik hati dan selalu mencegah keangkara
murkaan, tangguh dalam berperang, pandai.
-
Raden
Kumbakarna: Raksasa saudara Wibhisana yang juga baik hati, penyayang, namun
dipaksa Dasamuka untuk memerangi pasukan Raden Ranma.
-
Dewi
Trijata: seorang perempuan remaja yang cantik jelita, pandai, berbudi pekerti
luhur, suka menolong, merupakan putrid dari Raden Wibhisana.
-
Patih
Prahastha: patih Dasamuka, jahat, tangguh dalam perang, pemberani dan buruk
kelakuannya.
-
Raden
Indrajit: seorang anak jelmaan mega
mendhung, merupakan anak kesayangan Dasamuka, sakti mandraguna, pandai
menyelinap dan sombong.
-
Raden
Trigangga: anak dari Anoman yang berasal dari kama/spermanya Anoman yang tercecer ketika melihat kecantikan Dewi
Trijata, berwujud kera putih sama persis dengan Anoman, tangguh dalam
berperang, sekti mandraguna, patuh
dan taat.
d.
Setting
-
Kerajaan
Ayodya/Ngayodya:
Awalnya sebuah negara yang tata tentrem karta raharja (aman tentram lagi makmur), jembar jajahane (luas daerah
kekuasaannya), dan adoh prabawane
(besar pengaruhnya), namun sempat berubah saat Raden Rama tidak bersedia
dinobatkan menjadi raja gung binathara
menggantikan Prabu Dasarata. Setelah Raden Bharata yang diangkat menjadi raja,
keadaan Ayodya tidak sebaik dari sebelumnya. Berkat kerja keras dari Bharata
dan nasehat-nasehat dari Raden Rama, akhirnya Ayodya kembali seperti semula.
-
Hutan
Dhandaka:
Hutan tempat dimana Raden Rama, Dewi Sinta, dan Raden
Laksmana mengasingkan diri selama 12 tahun atas kehendak Dewi Kekayi. Merupakan
hutan yang menyeramkan, banyak pohon-pohon besar, dhemit, siluman dan biasa digunakan sebagai tempat untuk tapa brata.
-
Gua
Keskindha
Adalah markas dari para wanara yang dipimpin oleh Narpati Sugriwa. Terletak didalam hutan
yang menyeramkan. Setelah diambil alih dari Subali, kemudian diganti namanya
menjadi Pancawati
-
Negara
Manthilidirja
Negara yang dipimpin oleh Prabu Janaka, ayah dari Dewi
Sinta. Tempat diadakan sayembara menthang
langkap, yaitu sayembara untuk mengangkat gendhewa andalan dari Negara Manthilidirja. Dan yang berhasil akan
memboyong Dewi Sinta titising Dewi
Widawati.
-
Gunung
Gohkarna
Tempat yang digunakan Raden Kumbakarna untuk tapa sare. Gunung besar yang sunyi
senyap dan cocok untuk tapa brata.
-
Gunung
Maenaka
Merupakan jelmaan dari Resi Maenaka yang masih saudara
Bhayu dengan Anoman. Berupa gunung yang sangat indah dan menarik hati.
-
Lautan
Luas
Disini Raden Rama dan wadya wanara membangun tambak
/jembatan untuk menyebrang ke Negara Ngalengkadiraja. Saking luasnya lautan ini
sampai-sampai Anoman harus membuat pondasinya dari sebuah gunung.
-
Pesanggrahan Swelagiri
Merupakan markas sementara Raden Rama dan
pasukannyasebelum menyerang ke Ngalengkadiraja. Disana banyak terjadi
pertempuran-pertempuran hebat yang mengakibatkan tewasnya anak buah Dasamuka
yang sekti mandraguna.
-
Ngalengkadiraja
Negaranya para reksasa
yang dipimpiun oleh Prabu Dasamuka. Setelah berhasil ditahlukkan oleh Raden
Rama kemudian diganti namanya menjadi Negara Singgelapura.
e.
Amanat
Amanat
yang ada dalam cerita Ramayana ini jelas tercantum dalam cerita yang
diantaranya berwujud “Ngelmu Hasthabrata”
yaitu:
Pertama, meneladani bumi (tanah) dengan
sifat-sifatnya; seperti sugih (kaya)
yang suka memberi, rela, legawa, narima,
dan anoraga (rendah hati).
Kedua, meneladani bintang dengan sifatnya
yang tinggi. Artinya, hendaknya mempunyai cita-cita yang tinggi bagaikan
bintang yang gemilang.
Ketiga, meneladani matahari dengan sifatnya
yang pelan tapi pasti seperti perjalanan matahari yang tidak ketahuan ketika
sedang berjalan! Ini menyangkut wilayang angan-angan yang diharapkan mau
membuka cakrawala diri atau membuka “wewenganing
ngelmu” secara istiqomah. Serta bisa memberikan penerangan bagi orang yang
membutuhkan.
Keempat, meneladani bulan, maknanya adalah hati yang
bersih dan suci, sehingga memantulkan keindahan dan kedekatan kepada Gusti Kang Akarya Jagad!
Kelima, meneladani angin, yakni dengan sifatnya yang
selalu bergerak, suka meneliti secara cermat dalam kehidupan secara
komprehensif. Peneladanan angin ini juga mengisyaratkan akan pentingnya nafas
dalam kehidupan manusia, sehingga diharapkan menjadi “tetalining ngaurip” (penyambung kehidupan).
Keenam, meneladani mega/langit, maknanya merupakan pasemon terhadap rasa pangrasa manusia,
sehingga mengarah kepada ketentraman dan kebahagiaan abadi.
Ketujuh, meneladani sifat air yang selalu menuju ke
tempat yang lebih rendah. Mengisyaratkan supaya saat berbicara selalu diarahkan
kepada kebaikan.
Kedelapan, meneladani apidenagn sifatnya yang tegas.
Dalam hal ini api identik dengan menghukum tanpa pandang bulu kepada siapapun
yang bersalah.
C.
Kode
Budaya
Kode Budaya merupakan kebudayaan yang melatarbelakangi
suatu cerita. Kode ini berkaitan dengan berbagai system pengetahuan dan system
nilai yang tersirat di dalam teks, adapun kode budaya yang tampak dalam epos
Ramayan dapat dilihat dalam kutipan berikut ini:
1.
Upacara
Sesaji
Prabu Dasarata sudah lama mendambakan seorang putra
yang nantinya akan menjadi putra mahkota. Walaupun Sang Raja sudah memperistri
tiga wanita, namun beliau belum juga dianugrahi putra. Atas nasehat dari Begawan
Wasista Prabu Dasarata melaksanakan sesaji Asmawedha. Dan akhirnya Prabu
Dasarata pun dianugrahi empat putra yang sama tampan rupawan dan sekti
mandraguna.
Aplikasi untuk masa sekarang adalah adanya sedekah
bumi dan sedekah laut, dengan harapan Tuhan akan memberikan hasil panen yang
lebih baik lagi kedepannya. Selain itu juga tradisi saling member yang
diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat.
2.
Penentuan
Raja
Sebenarnya putra Prabu Dasarata yang paling pantas
untuk meneruskan kerajaan Ayodya adalah Raden Rama Wijaya. Selain sebagai putra
tertua dan terhebat, beliau juga merupakan putra mahkota yang lahir dari
permaisuri Dewi Ragu.
Sampai sekarang kriteria-kriteria tentang putra
mahkota yang akan ditetapkan menjadi raja masih sama dengan jaman dahulu.
Terutama untuk negara yang menganut system pemerintahan monarchi.
3.
Sayembara
Raden Rama mengikuti sayembara menthang langkap dengan hadiah dapat memboyong Dewi Sinta sebagai
istri.
Aplikasi untuk kehidupan jaman sekarang adalah adanya
kompetisi atau perlombaan. Seperti halnya sayembara, perlombaan juga
memperebutkan hadiah.
4.
Tradisi
Berburu
Raden Rama dan Raden Laksmana berburu dalam hutan
Dhandaka untuk menangkap seekor kidang emas yang merupakan jelmaan dari Kala
Marica.
Kalau jaman dahulu berburu dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan hidup, yaitu makan. Maka pada jaman sekarang berburu lebih untuk
menyalurkan hobi.
5.
Gotong
Royong
Para wadya
wanara sama bergotong royong tanpa mengeluh untuk membangun tambak/jembatan menuju negri
Ngalengkadiraja. Mereka sama gugur gunung
tanpa pamprih demi kepentingan bersama.
Aplikasi dalam kehidupan sekarang, gotong royong
biasanya dilaksanakan oleh masyarakat desa atau dalam lingkup RT. Biasanya
gotong royong dilaksanakan pada hari Minggu atau pada hari libur. Pada
masyarakat desa tradisi gugur gunung ini
sangat kental terasa.
6.
Menjamu
Tamu
Prabu Dasamuka mempersilahkan Raden Kumbakarna dan
menjamunya dengan makanan-makanan kesukaannya. Selain itu, Prabu Dasamuka juga
menyambut hangat kedatangan Anggada dengan menjamunya dengan minuman-minuman
yang memabukkan.
Sudah menjadi kewajiban dijaman sekarang ini untuk
menjamu tamu yang datang kerumah kita. Sebagai wujud penghormatan kita kepada
tamu, bahkan ada istilah tamu adalah raja.
7.
Penggunaan
Senjata
Raden Rama tidak pernah meleset dalam melepaskan Kiai Guwawijaya, semua yang telah
dibidik Raden Rama pasti tidak bisa luput. Lain halnya dengan kidang emas ini
yang terlihat jinak namun sangat gesit dan lihai dalam menghindari anak panah
Raden Rama.
Kalau dahulu senjata berupa panah, keris, pedang,
tombak, dll. Sekarang dengan perkembangan jaman senjata lebih beragam, seperti
pistol, senapan laras panjang, granat, rudal, dll. Penggunaan panah pada jaman
sekarang cuma sebagai hobi dan olahraga saja.
8.
Pengembaraan
Raden Rama, Raden Laksmana dan Dewi Sinta mengembara
kedalam hutan Dhandaka selama 12 tahun. Semua itu dilakukan sebagai buntut dari
keinginan Dewi Kekayi yang khawatir Raden Rama akan mengusik Raden Bharata.
Aplikasi pada kehidupan sekarang mungkin biasa kita
sebut merantau. Biasanya dilakukan oleh orang desa yang pergi kekota untuk
mencari pekerjaan atau untuk menuntut ilmu.
Dari uraian-uaraian
diatas dapat kita teladani bahwa banyak kebudayaan pada masa Ramayana yang
dapat diaplikasikan pada masa kehidupan sekarang ini.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A.
Kesimpulan
Dari analisis semiotik diatas dapat ditarik
kesimpulan bahwa epos cerita Ramayana karya Wawan Susetya ini berisi tentang
perjalanan Raden Rama Wijaya dan Dewi Sinta beserta para pengikutnya. Cerita ini dimulai dari kisah sang Prabu Dasaratha yang
mempunyai empat orang anak yang semuanya laki-laki. Keempat anaknya itu diberi
nama Rama, Bharata, Laksmana, dan Satrugna. Seorang resi atau bagawan yang
bernama Wiswamitra mengajukan permohonan bantuan kepada sang Prabu Dasaratha.
Resi Wiswamitra merasa ketakutan dan
tidak mampu menghadapi gangguan para raksasa yang sudah mengusik daerah
pertapannya. Maka Prabu Dasaratha pun mengirimkan bantuan dengan mengutus Rama
dan Laksmana untuk membasmi para raksasa tersebut. Sesuai dengan amanat
ayahnya, Rama dan Laksmana berhasil menghabisi para raksasa pengganggu area
pertapaan itu. Setelah itu Rama dan Laksmana pergi ke negeri Manthili untuk
mengikuti sayembara memanah yang berhadiah seorang putri raja bernama Sinta.
Singkat cerita, Rama pun keluar sebagai pemenang dan memboyong Sinta pulang ke
Ayodya.
Alkisah karena ada solidaritas dendam para
raksasayang telah dibunuh oleh Rama, maka di kemudian hari kehidupan Rama dan
Sinta diganggu oleh para Raksasa Rahwana. Di dalam cerita Rama, Sinta dan
Laksmana juga pernah meninggalkan kerajaan dikarenakan untuk memberi
kesempatan kepada Bharata (adik lain
ibu) untuk menjadi raja.
Kisah
selanjutnya adalah cerita tentang tuntutan Kekayi (ibu tiri Rama) agar Raja
Dasarata (ayah Rama) mengangkat puteranya Bharata sebagai raja Ayodya dan
menuntut agar Rama dan Sita diusir ke tengah hutan Dhandaka selama 12 tahun.
Didalam hutan Dhandaka Rama, Laksamana, dan Sita banyak bertemu dengan para
pertapa.
Suatu
ketika, Sita melihat kijang kencana dan meminta Rama menangkapnya. Ternyata
kijang tersebut adalah kijang jadi-jadian Kala Marica, patih dari Rahwana.
Ketika Rama berusaha mengejar kijang tersebut, Sita diculik oleh Rahwana dan
diterbangkan ke negeri Alengka. Dalam perjalanan, Sita ditolong oleh Jatayu. Tetapi
Jatayu dapat dikalahkan oleh Rahwana dengan sabetan pedhang Mentawa-nya. Dalam keadaan terluka
Jatayu berhasil menemui Rama. Demi mengetahui bahwa Sita diculik, maka Rama
berangkat menuju Alengka. Kisah berikutnya adalah cerita tentang perjalanan Rama
di hutan Dhandaka. Disana dia menolong Sugriwa (raja monyet) mengalahkan
Subali. Atas jasanya tersebut, Sugriwa dan Hanuman menyatakan keinginannya
untuk membantu Rama mencari Sita. Kemudian Hanuman berangkat ke Alengka sebagai
duta dari Rama.
Bagian terakhir dari kisah ramayana
adalah cerita ketika rombongan Raden
Rama
dan tentara monyet membangun jembatan menuju negeri Alengka. Selanjutnya,
Rahwana dan bala-tentaranya dapat dikalahkan. Rama berhasil membawa kembali
Sita ke Ayodya dengan selamat.
Epos cerita
Ramayan karangan empu Walmiki yang asli menggunakan bahasa Sansekerta. Banyak
versi cerita ini dari Ramayan versi India, versi Jawa, versi Melayu, sampai
cerita Ramayana yang dikemas dalam versi modern. Bahkan cerita Ramayana kini
bisa dinikmati dalam bentuk tarian.
Ternyata cerita Ramayana karangan Wawan Susetya ini
dibuat lebih sederhana dan lebih singkat dibanding karangan Rajaghopal. Dalam
bukunya Wawan Susetya, cerita Ramayana ini ditulis dengan bahasa Indonesia yang
sangat mudah untuk dipahami. Penulis tidak hanya mengalih bahasakan dari bahasa
Jawa Kuna atau bahasa India ke bahasa Indonesia. Namun, penulis menceritakan
kembali cerita Ramayana ini menggunakan bahasanya sendiri yang mudah dipahami
bahkan untuk orang awam sekalipun.
B.
Saran
Sebagai seorang generasi penerus bangsa, hendaknya
kita bisa menghargai dan menghidupkan budaya nenek moyang kita yang adigang, adigung adiguna. Salah satu
bentuk kebudayaan adalah karya satra para empu yang patut untuk dilestarikan.
Selain itu, generus bangsa dituntut untuk bisa
mengamalkan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam cerita Ramayana ini. Banyak
kisah teladan yang dapat kita jadikan acuan untuk kehidupan kedepan kita yang
lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Teeuw.A.1983.Membaca dan Menilai Sastra.Jakarta:PT
GRAMEDIA
Susetya
Wawan.2008.Ramayana.Yogyakarta:NARASI
http://id.wikipedia.org/wiki/Sastra_elektronik
(diunduh Senin, 23 April 2012)
file:///F:/ringkasan-cerita-ramayana.htm
(diunduh Senin, 23 April 2012)
waw... berguna baget lo buat aku...
BalasHapusmakasih...
Hapusmakasih gan, berguna banget buat nyelesaikan tugas tugasku ,.. !!!
BalasHapusoke gan...
BalasHapusoke gan...
BalasHapus